Wednesday, December 12, 2012

ILLEGAL LOGGING KABAENA

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pembalakan liar (illegal logging) adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan atau berpotensi merusak hutan. Esensi yang penting dalam praktik pembalakan liar (illegal logging) ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Oleh karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaan secara komprehenshif, maka pembalakan liar (illegal logging)mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam

Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 14 yaitu bahwa “Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.” Kerusakan hutan menurut Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 Ayat (2), yaitu bahwa “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.”
Istilah “Kerusakan hutan” yang dimuat dalam peraturan perundangundangan dibidang kehutanan yang berlaku ditafsirkan bahwa kerusakan hutan mengandung pengertian yang bersifat dualisme yaitu pertama, kerusakan hutan yang berdampak positif dan memperoleh persetujuan dari pemerintah tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum. Kedua, kerusakan yang berdampak negatif (merugikan) adalah suatu tindakan nyata melawan hukum dan bertentangan dengan kebijaksanaan atau tanpa adanya persetujuan pemerintah dalam bentuk perizinan. Sebagaimana diketahui bahwa setiap pembangunan akan membawa dampak terhadap perubahan lingkungan terutama eksploitasi sumber daya hutan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan jelas akan menimbulkan efek dari perubahan dari perubahan kondisi hutan tersebut. Dengan kata lain bahwa eksploitasi sumber daya hutan itu merupakan salah satu bentuk dari perusakan hutan.

Dengan demikian maka dituntut adanya aparatur penegak hukum yang memiliki kemampuan profesional, menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran dan keadilan, bersih, berwibawa dan bertanggungjawab.Kepatuhan terhadap hukum yang dilandasi adanya kesadaran hukum yang tinggi serta keikhlasan untuk mematuhinya adalah merupakan prasyarat tidak terjadinya pelanggaran hukum. Selain itu diperlukan adanya sikap dari pelaksana penegak hukum yang obyektif, tidak memihak yang sesuai dengan prinsip keadilan.

Polri selaku alat negara penegak hukum sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bertugas melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hukum dan perundang-undangan yang menjadi porsi tugas Polri untuk ditegakkan adalah semua hukum pidana baik yang tercantum dalam KUHP maupun di luar KUHP termasuk peraturan daerah. Upaya penegakan hukum melalui suatu proses penyidikan perkara tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu tindakan yang bersifat pembatasan, pengekangan hak-hak asasi seseorang dalam rangka usaha untuk memulihkan terganggungnya keseimbangan antara kepentingan umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.

Dengan kewenangan yang dimiliki Polri berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, maka dalam pelaksanaannya Polri harus bertindak dalam batas-batas yang ditentukan oleh undang-undang agar tidak terjadi kesalahan prosedur dan terkesan bertindak sewenang-wenang (penyalahgunaan wewenang), atau melampaui batas kewenangannya, sehingga merugikan citra Polri sebagai aparat penegak hukum.
Sehubungan dengan tugas Polri dalam melakukan penyidikan, sudah tentu menjadi keinginan bersama bahwa model penyidikan dengan segala tekanan terhadap tersangka seperti yang sering terjadi dalam masa berlakunya HIR, tidak akan terjadi lagi. Karena di samping harus menguasai taktik dan teknik penyidikan, Polri harus benar-benar mengetahui, mengerti dan menghayati semua ketentuan dalam Hukum Acara Pidana itu dengan sebaik-baiknya. Polri harus menyadari bahwa sistem yang dianut hukum acara pidana bukanlah sistem inquisatoir, akan tetapi sistem aquisatoir, yakni sistem yang memandang tersangka bukan sebagai objek tetapi sebagai subjek, dan Polri pun harus menghayati akan semangat pengakuan dan penghormatan hak-hak asasi manusia yang tercermin dalam hukum acara pidana. Karena dalam melakukan penyidikan, Polri harus tetap mengindahkan norma-norma keagamaan, perikemanusiaan, kesopanan dan kesusilaan.
Salah satu tugas dan wewenang Polri dalam hal penyidikan ialah melakukan penyitaan untuk kepentingan pembuktian, terutama ditujukan sebagai barang bukti di muka persidangan. Namun kenyataanya di kecamatan kabaena tengah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam hal penanganan penyitaan barang bukti tindak pidana kehutanan.Berdasarkan hal tersebut,maka penulis tertarik untuk mengkaji hal tersebut dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “ANALISIS HUKUM TERHADAP PENYITAAN BARANG BUKTI TINDAK PIDANA KEHUTANAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian tersebut tadi di atas,selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan - permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah mekanisme penyitaan barang bukti tindak pidana tindak pidana kehutanan di kecamatan kabaena tengah kabupaten bombana?
2. Mekanisme hokum apakah yang dapat ditinjau akibat dari penyimpangan mekanisme penyitaan barang bukti tindak pidana kehutanan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah diharapkan dapat mencapai sasaran teretentu sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui Bagaimanakah mekanisme penyitaan barang bukti tindak pidana tindak pidana kehutanan di kecamatan kabaena tengah kabupaten bombana.
b. Untuk mengetahui Mekanisme hokum apa saja yang dapat ditinjau akibat dari penyimpangan mekanisme penyitaan barang bukti tindak pidana kehutanan.
2. Manfaat penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Secara teoritis
Dapat mengetahui peraturan hokum apa yang dipakai pemerintah untuk tercapainya penanganan tindak pidana di bidang kehutanan.
b) Secara praktis
Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat menjadi masukan dan sumber bagi pihak-pihak yang yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang kewenangan polri sebagai penyidik dalam penanganan tindak pidana
 

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Illegal Logging

Pengertian “Illegal Logging” dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefinisikan dengan tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah yaitu dari bahasa Inggris. Dalam The Contemporary English Indonesian Dictionary, “illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, (Salim,1987:925)

Dalam Black’s Law Dictionary illegal artinya “forbiden by law, unlawdull” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah66. “Log” dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan, dan “logging” artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian (Garner,1999:750).

Berdasarkan pengertian secara harfiah tersebut dapat disimpulkan bahwa illegal logging menurut bahasa berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan dengan hukum atau tidak sah menurut hukum. Dalam Inpres RI No.5 tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebagan Kayu Illegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan illegal di kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting, istilah illegal logging

Disinonimkan dengan penebangan kayu ilegal. Definisi dari penebangan adalah berasal dari temu karya yang diselenggarakan oleh LSM Indonesia Telapak tahun 2002, yaitu : bahwa illegal logging adalah “Operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak”. Illegal logging identik dengan istilah “pembalakan illegal” yang digunakan oleh Forest Watch Indonesia (FWI) dan Global Forest Watch yaitu untuk menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. Lebih lanjut FWI illegal logging membagi menjadi dua yaitu :

1) yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya.
2) melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak illegal untuk menebang pohon.
Luasnya jaringan kejahatan illegal logging yang mencerminkan luasnya pengertian dari illegal itu sendiri , illegal logging digambarkan bahwa : Penebangan liar menunjukan adanya suatu rangkaian kegiatan yang merupakan suatu rantai yang saling terkait, mulai sumber atau produser kayu illegal atau yang melakukan penebangan kayu secara illegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu. Kayu tersebut melalui proses penyaringan yang illegal, pengangkutan illegal dan proses eksport atau penjualan yang illegal. Proses illegal logging ini, dalam perkembangannya semakin nyata terjadi dan seringkali kayu-kayu illegal dari hasil illegal logging itu dicuci terlebih dahulu sebelum memasuki pasar yang legal, artinya bahwa kayu-kayu yang pada hakekatnya adalah illegal, dilegalkan oleh pihak-pihak tertentu yang bekerja sama dengan oknum aparat, sehingga ketika kayu tersebut memasuki pasar, maka akan sulit lagi diidentifikasi mana yang merupakan kayu illegal dan mana yang merupakan kayu legal.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, maka dapat disimpulkam bahwa illegal logging adalah rangkaian kegiatan penebangan dan pengangkutan kayu ketempat pengolahan hingga kegiatan ekspor kayu tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang sehingga tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, oleh karena dipandang sebagai suatu perbuatan yang dapat merusak hutan. Unsur-unsur yang terdapat dalam kejahatan illegal logging tersebut antara lain : adanya suatu kegiatan, menebang kayu, mengangkut kayu, pengolahan kayu, penjualan kayu, pembelian kayu, dapat merusak hutan, ada aturan hukum yang melarang dan bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku.. Illegal logging adalah rangkaian kegiatan dalam bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan atau berpotensi merusak hutan.

Esensi yang penting dalam praktik illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya. Oleh karena kegiatan itu tidak melalui proses perencanaan secara komprehenshif, maka illegal logging mempunyai potensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan. Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 angka 14 yaitu bahwa :“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.” Kerusakan hutan menurut UU No. 41 tahun 1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.”
Sebagaimana diketahui bahwa setiap pembangunan akan membawa dampak terhadap perubahan lingkungan terutama eksploitasi sumber daya hutan dalam rangka pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan jelas akan menimbulkan efek dari perubahan dari perubahan kondisi hutan tersebut. Dengan kata lain bahwa eksploitasi sumber daya hutan itu merupakan salah satu bentuk dari perusakan hutan. Akan tetapi perusakan hutan dalam bentuk ini, tidak digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana pendapat diatas. Hal tersebut karena kerusakan hutan tersebut melalui mekanisme yang terstruktur dan tersistem yang melalui proses perencanaan atau manajemen yang matang dengan mempertimbangkan upaya-upaya perlindungan hutan itu sendiri seperti dengan jalan reboisasi atau penebangan yang teratur dengan sistem tebang pilih dan sebagainya. Kerusakan hutan yang berdampak negatif salah satunya adalah kejahatan illegal logging. Analisis yuridis tentang illegal logging yang merupakan kegiatan penebangan tanpa izin dan/atau merusak hutan adalah bahwa kegiatan illegal logging ini merupakan kegiatan yang unprediktibel terhadap kondisi hutan setelah penebangan, karena di luar dari perencanaan yang telah ada.

Perlindungan hutan direfleksikan dalam mekanisme konsesi penebangan sebagai konsekuensi logis dari fungsi perijinan sebagai sarana pengendalian dan pengawasan. Dalam proses pengelolaan dalam rangka pemanfaatan hutan diperlukan konsep yang dapat mengintegralisasi upaya pemanfaatan fungsi ekonomis dan upaya perlindungan kemampuan lingkungan agar keadaan lingkungan tetap menjadi serasi dan seimbang atau pengelolaan hutan yang berkelanjutan/lestari (sustainable forest management) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Koesnadi (1994:199),mengemukakan “istilah” pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang” membawa kepada keserasian antara “pembangunan” dan “lingkungan”, sehingga kedua pengertian itu, yaitu “pembangunan” dan “lingkungan” tidak dipertentangkan satu dengan yang lain”.
Hutan yang merupakan bagian penting dari lingkungan hidup dalam pengelolaannya juga mempunyai asas yang sudah merupakan asas yang berlaku secara internasional yaitu asas hutan yang berkelanjutan/lestari (sustainable forest) dan asas ecolabelling .asas hutan berkelanjutan (sustainable forest) adalah asas tentang pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan peningkatan kerja sama internasional dalam pelestarian hutan dan pembangunan berkelanjutan.asas ecolabelling adalah asas tentang semua kayu tropis yang dijual harus berasal dari hutan lestari melalui mekanisme pelabelan. Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan adalah merupakan suatu kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 48 UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH), bahwa tindak pidana perusakan hutan adalah merupakan kejahatan. Salah satu bentuk perusakan hutan itu adalah illegal logging.

Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan yang oleh masyarakat (dalam hal ini negara) diberi pidana, suatu uraian yang tidak memberi penjelasan lebih lanjut seperti juga definisi-definisi yang formil pada umumnya. Ditinjau lebih dalam sampai intinya, suatu kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan.
Menurut Muladi (1992:148),kejahatan atas kriminal merupakan salah satu bentuk dari “perilaku menyimpang” yang selalu ada dan melekat pada tiap bentuk masyarakat, tidak ada masyarakat yang sepi dari kejahatan.
.
Berdasarkan uraian diatas, jelas bahwa perbuatan illegal logging merupakan suatu kejahatan oleh karena dampak yang ditimbulkan sangat luas mencakup aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan. Kejahatan ini merupakan ancaman yang potensiil bagi ketertiban sosial dan dapat menimbulkan ketegangan serta konflik-konflik dalam berbagai dimensi, sehingga perbuatan itu secara faktual meyimpang dari norma-norma yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial. Bahkan dampak kerusakan hutan yang diakibatkan oleh kejahatan illegal logging ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang berada di sekitar hutan saja namun dirasakan secara nasional, regional maupun internasional oleh karenanya illegal logging disebut juga istilah transnational crime dan extra ordinary crime.

Secara umum illegal logging mengandung makna kegiatan di bidang kehutanan atau yang merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penebangan, pengangkutan, pengolahan hingga kegiatan jual beli (termasuk ekspor-impor) kayu yang tidak sah atau bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, atau perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan hutan.

Essensi yang penting dalam praktek penebangan liar (illegal logging) ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi, maupun sosial budaya dan lingkungan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung tiga fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi) serta fungsi sosial.
Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan berbagai konflik seperti konflik hak atas hutan, konflik kewenangan mengelola hutan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah serta masyarakat adat setempat. Aspek budaya seperti ketergantungan masyarakat terhadap hutan juga ikut terpengaruh yang pada akhirnya akan merubah perspektif dan perilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.
Akar Permasalah dalam Illegal Logging, dimana paling sedikit ada 4 (empat) macam yaitu :
1. Sistem Pengelolaan Hutan di Indonesia yang membuka ruang untuk terjadinya praktek illegal logging.
2. Tingkat kesejahteraan (gaji) Pejabat, Petugas dan masyarakat sekitar hutan rendah.
3. Mentalitas yang tidak baik.
4. Kontrol yang lemah, baik kontrol instansional maupun kontrol sosial.
Dampak kerusakan ekologis (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) menurut berbagai penelitian yang dilakukan oleh para pakar pemerhati lingkungan dan kehutanan bahwa berbagai bencana alam yang terjadi, disinyalir sebagai akibat dari kerusakan hutan sebagai dampak dari penebangan liar (illegal logging). Selain bencana alam, penebangan liar (illegal logging) ini juga menimbulkan kerusakan flora dan fauna serta punahnya spesies langka.
Terkait dengan perusakan lingkungan hidup secara tegas disebutkan dalam pasal 1 butir 14 UU PLH No. 23/1997 yaitu bahwa ” perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan”.
Merusak hutan yang berdampak pada kerusakan lingkungan adalah merupakan suatu kejahatan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 48 UU No. 23/1997 bahwa ”tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini adalah kejahatan”. Bab yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah Bab IV UU No.23/1997 tentang ketentuan pidana, yang didalamnya dirumuskan tentang ketentuan pidana terhadap perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Perusakan hutan adalah merupakan salah satu bentuk perusakan lingkungan, oleh karena itu maka perusakan hutan adalah merupakan suatu kejahatan. Salah satu bentuk perusakan hutan itu adalah penebangan liar (illegal logging).
Pengertian hutan dalam kaitanya dengan ilegal loging menurut Pasal 1 butir 2 UU No. 41/1999 adalah : “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Hukum Kehutanan menurut Biro Hukum dan Organisasi Departemen Kehutanan adalah kumpulan (himpunan) peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang berkenaan dengan kegiatan yang tersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya. Dimana terdapat dua kepentingan dalam sistem pengelolaan hutan yang saling mempengaruhi yaitu kepentingan pemanfaatan dan kepentingan perlindungan hutan.
Perlindungan hutan menurut Pasal 47 UU No. 41/1999 dirumuskan bahwa perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk :
a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil-hasil hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit dan;
b. Mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Sementara perusakan hutan menurut UU No.41/1999 dalam penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : ”yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya”.
Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 UU No. 41/1999 yaitu pidana penjara, pidana denda dan pidana perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana dan ketiga jenis pidana ini dapat dijatuhkan kepada pelaku secara kumulatif.
Uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh pasal 78 UUNo.41/1999 terdapat unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging) yaitu :
a. Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
b. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan.
c. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan undang-undang.
d. Menebang pohon tanpa izin.
e. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan illegal.
f. Menangkut, menguasai atau memilki hasil hutan tanpa SKSHH.
g. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
Rumusan tersebut di atas menggambarkan selektifitas dari ketentuan hukum dimana sasaran penegakan hukumnya belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku kejahatan penebangan liar (illegal logging). Secara tegas UU No. 41/1999 belum memberikan definisi tentang penebangan liar penebangan liar (illegal logging) , dan tindak pidana pembiaran terutama kepada pejabat yang mempunyai kewenangan dalam bidang kehutanan yang berpotensi meningkatkan intensitas penebangan liar (illegal logging).
B. Tugas Dan Fungsi Polri Dalam Tindak Pidana Kehutanan
1. Tugas polri dalam tinda pidana kehutanan
Polri selaku alat negara penegak hukum sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 bertugas melaksanakan penyidikan perkara berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Hukum dan perundang-undangan yang menjadi porsi tugas Polri untuk ditegakkan adalah semua hukum pidana baik yang tercantum dalam KUHP maupun di luar KUHP termasuk peraturan daerah. Upaya penegakan hukum melalui suatu proses penyidikan perkara tersebut pada hakekatnya adalah merupakan suatu tindakan yang bersifat pembatasan, pengekangan hak-hak asasi seseorang dalam rangka usaha untuk memulihkan terganggungnya keseimbangan antara kepentingan umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pasal 6 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa ada dua pejabat yang berkedudukan sebagai Penyidik tindak pidana kehutanan, yaitu Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Penyidik Polri memiliki kewenangan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP sedangkan untuk PPNS kewenangannya sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing, untuk PPNS kehutanan kewenangannya diatur dalam Pasal 77 Undang-undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 39 Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang KSDAHE.
tugas penyidik polri dalam melaksanakan penyidikan tindak pidana kehutanan sesuai peraturan Kapolri No. 25 tahun 2007 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan PPNS meliputi :
1. Tugas penyidik polri sebagai Koordinator:
• Menerima Laporan dan pemberitahuan tentang dimulainya penyidikan (SPDP) oleh PPNS serta meneruskannya ke Penuntut Umum.
• Mengikuti perkembangan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS.
• memberikan dukungan secara aktif kepada PPNS.
• Memberikan Juknis penyidikan kepada PPNS.
• Menerima pemberitahuan tentang penghentian penyidikan (SP3) oleh PPNS untuk diteruskan kepada Penuntut Umum.
• Memberikan bantuan penyidikan berupa bantuan teknis sari fungsi forensik, identifikasi dan Psikologi Polri.
• menerima penetapan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh PPNS dan meneruskan kepada Penuntut Umum
2. Tugas penyidik polri sebagai Pengawas:
• Mengikuti perkembangan pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh PPNS;
• Menghadiri dan memberikan petunjuk dalam gelar perkara yang dilaksanakan PPNS;
• Meminta laporan kemajuan penyidikan;
• mempelajari berkas perkara hasil penyidikan PPNS dan meneruskannya kepada Penuntut Umum apabila telah memenuhi persyaratan formil dan materiil;
• mengembalikan berkas perkara kepada PPNS disertai petunjuk untuk disempurnakan, apabila belum memenuhi persyaratan;
• memberikan petunjuk dalam penghentian penyidikan
• melaksanakan supervise
penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 angka 4 KUHAP). Menurut Pasal 4 KUHAP penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. dari ketentuan ini maka dapat diartikan bahwa:
1. Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia, dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi;
2. Tidak ada pejabat lain yang berkedudukan sebagai penyelidik dan berwenang melakukan penyelidikan.Wewenang penyelidik menurut ketentuan Pasal 5 KUHAP adalah:
Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, pejabat kehutanan tertentu diberi wewenang kepolisian khusus yang kewenangannya mirip dengan kewenangan penyelidik polri.Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan menyebutkan bahwa pejabat kehutanan tertentu yang diberi wewenang kepolisian khusus meliputi :
1. Pegawai negeri sipil yang diangkat sebagai pejabat fungsional polisi kehutanan;
2. Pegawai perusahaan umum kehutanan Indonesia (perum perhutani) yang diangkat sebagai polisi kehutanan;
3. Pejabat struktural instansi kehutanan pusat maupun daerah yang sesuai dengan tugas dan fungsinya mempunyai wewenang dan tanggungjawab dibidang perlindungan hutan
Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus tersebut di atas dalam ketentuan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dan Pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 diberi wewenang untuk:
1. Mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
2. Memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
3. Menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
4. Mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan;
5. Dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
6. Membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil hutan.
Kemudian pada Pasal 36 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 menyebutkan bahwa atas perintah pimpinan polisi kehutanan berwenang untuk melakukan penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka.Dengan demikian walaupun undang-undang kehutanan dan peraturan pelaksananya tidak secara inplisit memberi wewenang kepada pejabat kehutanan tertentu untuk dapat menjadi penyelidik dan melakukan tugas-tugas penyelidikan sebagaimana penyelidik Polri, kewenangan tersebut melekat pada tugas dan kewenangan polisi kehutanan, yang membedakannya yaitu:
1. Kewenangan tugas polisi kehutanan terbatas hanya pada tindak pidana dibidang kehutanan sedangkan penyelidik polri untuk semua tindak pidana;
2. Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri sebagaimana penyelidik polri, menurut saya seharusnya polisi kehutanan memiliki kewenangan ini, karena merupakan langkah awal melaksanakan kewenangan berikutnya untuk memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya.
3. Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sebagaimana penyelidik polri, menurut saya ketentuan ini seolah-olah memberikan keleluasaan bertindak bagi penyelidik namun jika diselaraskan dengan persyaratan sebagaimana yang disebutkan dalam penjelasan ayat tersebut, sulit menemukan bentuk konkrit dari tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab yang memenuhi standar persyaratan, sehingga tidak memberi kepastian hukum bagi penyelidik, hal ini dapat menimbulkan tindakan sewenang-wenang penyelidik, namun bisa juga menjadi bumerang bagi penyelidik jika tindakannya dinilai sebagai perbuatan melawan hukum, untuk itu ketentuan ini tidak perlu diadopsi oleh undang-undang kehutanan.
4. Polisi kehutanan kecuali tertangkap tangan untuk melakukan penangkapan harus ada perintah pimpinan, sedangkan penyelidik polri perintah berasal dari penyidik.
5. Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan sebagaimana penyelidik polri atas perintah penyidik, menurut saya atas perintah pimpinan selain memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan Polisi kehutanan seharusnya juga diberi wewenang untuk melakukan penyitaan dan penggeledahan dalam rangka membantu tugas PPNS.
6. Polisi kehutanan tidak memiliki kewenangan membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik sebagaimana penyelidik polri yang atas perintah penyidik dapat membawa dan menghadapkan seseorang kepada penyidik.
Konsep fungsi kepolisiaan Republik Indonesia dalam tindak pidana kehutanan diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tersebut menyatakan bahwa kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintah negara di bidang pemeliharan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat. Selain memiliki fungsi dalam pemerintah negara, Polri juga memiliki peran dalam rangka menciptankan keamanan dan ketertiban. Peranan Polri di atur dalam Pasal 5 menyatakan:
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
(2) Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).
Untuk menjalankan fungsi dalam sitem pemerintah negara RI, maka Polri mempunyai tugas pokok yaitu menegakan hukum, memilihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan memberikan perlindungan serta pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kewenangan yang di berikan kepada Polri dan keterkaitan dengan penegakan hukum pidana.Adapun yang berwenang melakukan penyidikan terhadap pidana lingkungan
hidup adalah:
a. Penyidik Polri. Hal ini diatur didalam Pasal 6 Ayat (1) huruf a KUHAP.
hal ini Polri berwenang melakukan penyidikan tindak pidana, kecuali
tindak pidana yang terjadi di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia(Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 Pasal 14 Ayat (1) dan dan tindak pidana mengenai perikanan tersebut dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di wilayah perairan indonesia.
b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil berwenang melakukan penyidikan tindak pidana lingkungan hidup sesuai dengan wewenang khusus yang di berikan oleh undang-undang yang menjadi dasar pembentukannya. Dengan demikian PPNS lingkungan hidup yang ada di lingkungan Kementerian Negara lingkungan Hidup/Bepedal hanya berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan hidup yang diatur dalam Undang- Undang No. 23 Tahun 1997.
c. Penyidik Perwira AL berwenang melakukan penyidikan tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 yang terjadi di ZEE Pengelolaan barang Indonesia dan tindak pidana perikanan dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di wilayah perairan Indonesia, termasuk tindak pidana yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup yang mengatur dalam kedua undang-undang tersebut diatas.
kejahatan penebangan liar (illegal logging), dengan memberikan sanksi pidana yang merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan (termasuk melakukan penebangan liar) ini adalah dapat menimbulkan efek jera bagi pelangaran hukum di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiata dalam bidang kehutanan menjadi enggan dan harus berpikir berkali-kali untuk melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya berat.
Ketentuan pidana yang dimuat dalam Pasal 50 No. 78 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengandung unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum bagi polri dalam menjalankan fungsinya untuk penegakan hukum pidana terhadap kejahatan penebangan liar (illegal logging),yaitu:
2. Merusak sarana dan prasarana pelindungan hutan;
3. Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehinnga merusak hutan;
4. Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang dan pantai yang ditentukan
a. undang-undang;
5. Menebang pohon tanpa izin;
6. Menerima, membeli atau menjual hasil hutan yang diketahui atau patut
b. diduga sebagai hasil hutan illegal;
7. Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa SKSHH;
8. Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin.
C. Pengertian Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan (pasal 1 butir 16 KUHAP).Tujuan Penyitaan, adalah untuk kepentingan pembuktian , terutama ditujukan sebagai barang bukti dimuka sidang pengadilan.dalam prosesnya,telah diatur dalam undang-undang tata cara penyitaan sebagai berikut :
1. berdasarkan surat ijin ketua pengadilan negeri kecuali tertangkap tangan hanya atas benda bergerak. (Pasal 38 KUHAP).
2. penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukan tanda pengenal (Pasal 128 KUHAP).
3. penyitaan disaksikan oleh kepala desa atau kepala lingkungan dan dua orang saksi (Pasal 129 ayat 1).
4. penyidik membuat berita acara yang dibacakan, ditandatangani serta salinannya disampaikan kepada atasan penyidik, orang yang disita , keluarganya dan kepala desa. (Pasal 129 ayat 2,3 dan 4 KUHAP).
5. benda sitaan dibungkus, dirawat, dijaga, serta dilak dan cap jabatan. (pasal 130 KUHAP (1) .
Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP. Di dalam Pasal 46 ayat (1) dan (2) Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ) yang menyebutkan bahwa
• Ayat (1). “ Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak apabila:
a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagi;
b. Perkara itu tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidana;
c. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara itu ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.”
• Ayat (2). “ Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau dirusak sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut diperlukan sebagai barang bukti perkara lain.”
Penyitaan berasal dari terminologi Beslag (Belanda), dan didalam istilah bahasa indonesia “beslag” namun istilah bakunya ialah kata sita atau penyitaan. Beberapa pengertian penyitaan yaitu: . Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat selama paksa berada ke dalam keadaan penjagaan.
1. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu ditahukan secara resmi (official) berdasarkan permintaan pengadilan atau hakim.
2. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas keputusan hutang debitur atau tergugat dengan jalan menjual lelang (exsekutorial verkoop) barang yang disita tersebut
Penyitaan terhadap barang milik tergugat biasanya disebut dengan sita consevatoir (consevatoir beslag). Menurut Sudikno Mertokusumo ,( “sita consevatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada ketua pengadilan untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata”).
Penyitaan dapat menjaga barang agar tidak dialihkan atau tidak dijual. Sifat dari sita consevatoir ini dapat juga berupa tekanan apabila, barang sitaan tidak sampai dijual. Hal ini terjadi karena tergugat telah memenuhi prestasinya sebelum putusan dilaksanakan. Didalam penggunaan arti sita consevatoir atau consevatoir beslag masih banyak ragam arti yang digunakan. Tentunya kita ingin mendapatkan suatu arti yang tepat yang dapat dibakukan sebagai standar di dalam praktek hukum di lingkungan peradilan.
D. Mekanisme dan Syarat Penyitaan
Mekanisme dan syarat penyitaan dalam tindak pidana kehutanan dapat dijelaskan sebagai berikut :
Seseorang yang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan mak tindakan yang pertama dilakukan adalah.
a) Jalur untuk mengetahui adanya suatu tindak pidana dan menjadi dasar penyelidikan adalah:
1. Pengaduan, yaitu pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikan (Pasal 1 butir 25 KUHAP)
2. Laporan, yaitu pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana (Pasal 1 butir 24 KUHAP)
3. Tertangkap tangan, yaitu tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
b) Penyelidik karena kewajibannya memiliki kewenangan antara lain sebagai berikut:
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; (Pasal 5 KUHAP)
2. Mencari keterangan dan barang bukti;(Pasal 5 KUHAP)
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; (Pasal 5 KUHAP)
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung-jawab. (Pasal 5 KUHAP)
5. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa:
• penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penahanan;
• pemeriksaan dan penyitaan surat;
• mengambil sidik jari dan memotret seorang;
• membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. (Pasal 5 KUHAP)
6. Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana tersebut di atas. (Pasal 5 KUHAP)
7. Untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan. (Pasal 16 ayat (1) KUHAP)
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (Pasal 1 butir 2 KUHAP)
Apabila setelah melalui tahap penyelidikan dapat ditentukan bahwa suatu peristiwa merupakan suatu peristiwa pidana pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang (pasal 6 KUHAP)
Penyidik karena kewajibannya memiliki kewenangan sebagai berikut:
1. Menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; (Pasal 7 KUHAP)
2. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; (Pasal 7 KUHAP)
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; (Pasal 7 KUHAP)
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; (Pasal 7 jo Pasal 131 KUHAP)
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (Pasal 7 jo Pasal 132 ayat 2,3,4,5 KUHAP)
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang; (Pasal 7 KUHAP)
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (Pasal 7 KUHAP)
8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (Pasal 7 jo pasal 132 ayat 1 jo pasal 133 ayat 1 KUHAP)
9. Mengadakan penghentian penyidikan; (Pasal 7 KUHAP)
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
11. Dalam melakukan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. (Pasal 7 ayat (3) KUHAP)
12. Membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan.(Pasal 8 ayat 1 KUHAP)
13. Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat 2 KUHAP)
14. Penyerahan berkas perkara dilakukan:
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. (Pasal 8 ayat 3 KUHAP)
15. Berita acara dibuat untuk setiap tindakan tentang :
a. pemeriksaan tersangka;
b. penangkapan;
c. penahanan;
d. penggeledahan;
e. pemasukan rumah;
f. penyitaan benda;
g. pemeriksaan surat;
h. pemeriksaan saksi;
i. pemeriksaan di tempat kejadian;
j. pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k. pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. (Pasal 75 KUHAP)
16. Melakukan penyidikan tambahan, jika penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum. (Pasal 110 ayat (2) KUHAP)
17. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.(Pasal 31 ayat 1 KUHAP)
18. Karena jabatannya hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang sudah ditentukan. (Pasal 31 ayat (2) KUHAP)
19. Melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum, jika penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi. (Pasal 110 ayat (3) KUHAP)
20. Dalam hal seorang disangka melakukan suatu tindak pidana sebelum dimulainya pemeriksaan oleh penyidik, penyidik wajib memberitahukan kepadanya tentang haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau bahwa ia dalam perkaranya itu wajib didampingi oleh penasihat hukum. (Pasal 114 KUHAP)
Ketika melaksanakan penyelidikan dan penyidikan, para aparat penegak hokum melakukan suatu upaya paksa, yaitu serangkaian tindakan untuk kepentingan penyidikan yang terdiri dari penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan dan pemeriksaan surat.
1) Penangkapan. Menurut pasal 1 butir 20 KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
2) Penahanan. Menurut pasal 1 butir 21 KUHAP, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
3) Penyitaan. Menurut pasal 1 butir 16 KUHAP, penyitaan adalah serangkain tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak,berwujud dan atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
4) Penggeledahan rumah. Menurut pasal 1 butir 17 KUHAP, penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
5) Penggeledahan badan. Menurut pasal 1 butir 18 KUHAP, penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan dan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta, untuk disita.
Para penyidik kemudian menuangkan hasil penyidikan tersebut kedalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). BAP ini kemudian diserahkan oleh penyidik kepada penuntut umum untuk dipelajari dan diteliti kelengkapannya sebagai dasar untuk membuat surat dakwaan. Menurut pasal 38 KUHAP, penuntut umum mengembalikan BAP tersebut kepada penyidik apabila penuntut umum menilai bahwa BAP tersebut belum lengkap . Pengembalian tersebut disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi oleh penyidik dalam waktu 14 hari setelah penerimaan berkas.
Apabila penuntut umum menilai bahwa BAP tersebut telah lengkap, maka penuntut umum kemudian akan membuat surat dakwaan dan dilanjutkan ke tahap penuntutan. Pasal 1 butir 7 KUHAP menyatakan bahwa penuntutan adalah melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam KUHAP dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus hakim di sidang pengadilan. Dalam KUHAP, diatur tentang wewenang penuntut umum dalam hal:
1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; (Pasal 14 jo pasal 138 ayat 1 KUHAP)
2. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; (Pasal 14 jo pasal 138 ayat 2 KUHAP)
3. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; (Pasal 14 KUHAP)
4. Membuat surat dakwaan; (Pasal 14 jo pasal 140 ayat 1 KUHAP)
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan;(Pasal 14 jo pasal 139 jo pasal 143 ayat 1 KUHAP)
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang
7. pada sidang yang telah ditentukan; (Pasal 146 KUHAP)
8. Melakukan penuntutan; (Pasal 137 KUHAP)
9. Menutup perkara demi kepentingan hukum; (Pasal 14 KUHAP)
10. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; (Pasal 14 KUHAP)
11. Melaksanakan penetapan hakim. (Pasal 14 KUHAP)
12. Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penuntut umum dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang
13. ditentukan. (Pasal 31 ayat 1 KUHAP)
14. 12. Karena jabatannya hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang sudah ditentukan. (Pasal 31 ayat (2) KUHAP)
 

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah normative empiris.secara Normatif karena penelitian ini menganalisa hokum baik yang tertulis di dalam buku maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan.secara empiris karena mengkaji persoala pnyitaan barang bukti tindak pidana kehutanan yang terjadi di lapangan.
B. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih disesuaikan dengan permasalahan penelitian tentang penanganan kepolisian atas penyidikan barang bukti tindak pidana pencurian hasil hutan di kecamatan Kabaena Tengah kabupaten Bombana.dimana kecamatan Kabaena Tengah merupakan salah satu wilayah kecamatan di kabaena yang mempunyai luas hutan yang cukup berpotensi terjadi pembalakan liar ataupun illegal loging
1. Populasi

Semua aparat dan pelaku tindak pidana kehutanan di Kecamatan Kabaena Tengah Kabupaten Bombana

2. Sampel

Mengingat populasi dalam penelitian ini cukup banyak,maka penulis mengambil sampel sebanyak 12 orang,yakni 4 orang dari pelaku tindak pidana,4 orang dari satuan polres Bombana,dan 4 orang dari anggota PPNS.teknik penarikan sampel adalah startifikasi random sampling,dimana sampel diambil secara proporsional dari beberapa bagian yang ada pada Polres Bombana.ditambah informasi kunci yakni:
a. Kapolres Bombana
b. Kepala Pegawai Penyidik Negeri Sipil Kabupaten Bombana
D. Sumber data

1. Data primer,yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya berupa wawancara dengan narasumber serta pelaku-palaku yang pernah melakukan tindak pidana pencurian hasil hutan,dan beberapa tokoh yang pernah menjadi saksi dalam kegiatan tersebut.
2. Data sekunder,data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan,berupa buku-buku karangan para ahli,dokumen-dokumen,karya ilmiah serta perundang-undangan yang menyangkut tentang tindak pidana kasus pencurian hasil hutan yang ditangani oleh Polri.
E. Teknik pengumpulan data
1. Studi kepustakaan,yaitu dengan mempelajari literature-literatur yang berkaitan dengan penelitian yang penulis angkat tentang kewenangan polri dalam proses tindak pidana pencurian hasil hutan.
2. Studi lapangan,yaitu metode pengumpulan data dengan mengadakan observasi langsung ke lapangan.
3. Wawancara,yaitu mengadakan Tanya jawab secara langsung kepada nara sumber dan responden penelitian berdasarkan pedoman penelitian yang telah dipersiapkan.
4. Kuesioner,yaitu memberikan pertanyaan secara tertulis kepada narasumber dan responden penelitian untuk jawaban secara tertulis.
F. Analisis data

Analisis data yang digunakan bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang mudah dipahami dan dipresentasekan sehingga dapat diperoleh kesimpulan terhadap masalah tersebut,analisis data yang diperoleh dari hasil penelitian diinterpretasikan secara deskriptif untuk menjelaskan proses tindakan penanganan kepolisian dalam penyidikan barang bukti tindak pidana pencurian hasil hutan.
G. Definisi operasional
1. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tidak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 angka 5 KUHAP),
2. PPNS adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang sekurangkurangnya berpangkat Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau yang disamakan dengan itu yang diberikan wewenang khusus oleh Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing untuk melakukan penyidikan
3. Tindak pidana adalah setiap perbuatan/peristiwa yang diancam hukuman sebagai kejahatan atau pelanggaran yang baik yang disebut dalam KUHP maupun perautan perundang-undangan lainnya
4. Polisi adalah suatu pranata umum sipil yang mengatur tata tertib (orde) dan hukum.
5. kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.

No comments:

Post a Comment